PENDAHULUAN
Dalam makalah ini
akan memaparkan tentang cabang-cabang dalam filsafat, yang pertama
di
sebut landasan ontologis; cabang ini menguak tentang objek apa yang
di telaah ilmu? Bagaimana ujud yang hakiki dari objek tersebut ?
bagaimana hubungan antara objek tadi dengan daya tangkap manusia
(sepert berpikir, merasa dan mengindera) yang membuakan pengetahuan?.
Kedua
di
sebut dengan landasan epistimologis; berusaha menjawab bagaimna
proses yang memungkinkan di timbanya pengetahuan yang berupa ilmu?
Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus di perhatikan agar kita
mendapatkan pengetahuan yang benar? Apa yang disebut kebenaran itu
sendiri? Apakah kriterianya? Cara/tehnik/sarana apa yang membantu
kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu?. Sedang yang
ketiga,
di
sebut dengan landasan aksiologi; landasan ini akan menjawab, untuk
apa pengetahuan yang berupa ilmu itu di pergunakan? Bagaimana kaitan
antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana
penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral?
Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan
operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/professional
Jadi untuk
membedakan jenis pengetahuan yang satu dari pengetahuan-pengetahuan
lainnya. Denganb mengetahuan jawaban-jawaban dari ketiga pertanyaan
ini maka dengan mudah kita dapat membedakan berbagai jenis
pengetahuan yang terdapat dalam khasanah kehidupan manusia. Hal ini
memungkinkan kita mengenali berbagai pengetahuan yang ada seperti
ilmu, seni dan agama serta meletakkan mereka pada tempatnya
masing-masing yang saling memperkaya kehidupan kita. Tanpa mengenal
ciri-ciri tiap pengetahuan dengan benar maka bukan saja kita dapat
memanfaatkan kegunaanya secara maksimal namun kadang kita salah dalam
menggunakannya. Ilmu di kacaukan dengan seni, ilmu dikonfrontasikan
dengan agama, bukankah tak ada anarki yang lebih menyedihkan dari
itu?
PEMBAHASAN
- Ontologi
Objek telaah
ontologi adalah yang ada. Studi tentang yang ada, pada dataran studi
filsafat pada umumnya di lakukan oleh filsafat metaphisika. Istilah
ontologi banyak di gunakan ketika kita membahas yang ada dalam
konteks filsafat ilmu.
Ontologi membahas
tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu.
Ontologi membahas tentang yang ada yang universal, menampilkan
pemikiran semesta universal. Ontologi berupaya mencari inti yang
termuat dalam setiap kenyataan, atau dalam rumusan Lorens Bagus;
menjelaskan yang ada yang meliputi semua realitas dalam semua
bentuknya.
1.
Objek
Formal
Objek formal
ontologi adalah hakikat seluruh realitas. Bagi pendekatan
kuantitatif, realitas tampil dalam kuantitas atau jumlah, tealaahnya
akan menjadi kualitatif, realitas akan tampil menjadi aliran-aliran
materialisme, idealisme, naturalisme, atau hylomorphisme. Referensi
tentang kesemuanya itu penulis kira cukup banyak. Hanya dua yang
terakhir perlu kiranya penulis lebih jelaskan. Yang natural ontologik
akan diuraikan di belakang hylomorphisme di ketengahkan pertama oleh
aristoteles dalam bukunya De Anima. Dalam tafsiran-tafsiran para ahli
selanjutnya di fahami sebagai upaya mencari alternatif bukan
dualisme, tetapi menampilkan aspek materialisme dari mental.
2.
Metode
dalam Ontologi
Lorens Bagus
memperkenalkan tiga tingkatan abstraksi dalam ontologi, yaitu :
abstraksi fisik, abstraksi bentuk, dan abstraksi metaphisik.
Abstraksi fisik menampilkan keseluruhan sifat khas sesuatu objek;
sedangkan abstraksi bentuk mendeskripsikan sifat umum yang menjadi
cirri semua sesuatu yang sejenis. Abstraksi metaphisik mengetangahkan
prinsip umum yang menjadi dasar dari semua realitas. Abstraksi yang
dijangkau oleh ontologi adalah abstraksi metaphisik.
Sedangkan metode
pembuktian dalam ontologi oleh Laurens Bagus di bedakan menjadi dua,
yaitu : pembuktian a priori dan pembuktian a posteriori.
Pembuktian a priori
disusun dengan meletakkan term tengah berada lebih dahulu dari
predikat; dan pada kesimpulan term tengah menjadi sebab dari
kebenaran kesimpulan.
Contoh : Sesuatu
yang bersifat lahirah itu fana (Tt-P)
Badan itu sesuatu
yang lahiri (S-Tt)
Jadi, badan itu
fana’ (S-P)
Sedangkan pembuktian
a posteriori secara ontologi, term tengah ada sesudah realitas
kesimpulan; dan term tengah menunjukkan akibat realitas yang
dinyatakan dalam kesimpulan hanya saja cara pembuktian a posterioris
disusun dengan tata silogistik sebagai berikut:
Contoh : Gigi geligi
itu gigi geligi rahang dinasaurus (Tt-S)
Gigi geligi itu
gigi geligi pemakan tumbuhan(Tt-P)
Jadi, Dinausaurus
itu pemakan tumbuhan (S-P)
Bandingkan tata
silogistik pembuktian a priori dengan a posteriori. Yang apriori di
berangkatkan dari term tengah di hubungkan dengan predikat dan term
tengahj menjadi sebab dari kebenaran kesimpulan; sedangkan yang a
posteriori di berangkatkan dari term tengah di hubungkan dengan
subjek, term tengah menjadi akibat dari realitas dalam kesimpulan.
Sementara Jujun S.
Suriasumantri dalam pembahasan tentang ontologi memaparkan juga
tentang asumsi dan peluang. Sementara dalam tugas ini penulis tidak
hendak ingin membahas dua point tersebut.
- Epistemologi
Masalah epistemology
bersangkutan dengan pertanyaan-pertanyaan tentang pengetahuan.
Sebelum dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan kefilsafatan, perlu
diperhatikan bagaimana dan dengan sarana apakah kita dapat memperoleh
pengetahuan. Jika kita mengetahui batas-batas pengetahuan, kita tidak
akan mencoba untuk mengetahui hal-hal yang pada akhirnya tidak dapat
di ketahui. Memang sebenarnya, kita baru dapat menganggap mempunyai
suatu pengetahuan setelah kita meneliti pertanyaan-pertanyaan
epistemology. Kita mungkin terpaksa mengingkari kemungkinan untuk
memperoleh pengetahuan, atau mungkin sampai kepada kesimpulan bahwa
apa yang kita punyai hanyalah kemungkinan-kemungkinan dan bukannya
kepastian, atau mungkin dapat menetapkan batas-batas antara
bidang-bidang yang memungkinkan adanya kepastian yang mutlak dengan
bidang-bidang yang tidak memungkinkannya.
Manusia tidak lah
memiliki pengetahuan yang sejati, maka dari itu kita dapat mengajukan
pertanyaan “bagaimanakah caranya kita memperoleh pengetahuan”?
Metode-metode
untuk memperoleh pengetahuan
a.
Empirisme
Empirisme adalah
suatu cara/metode dalam filsafat yang mendasarkan cara memperoleh
pengetahuan dengan melalui pengalaman. John Locke, bapak empirisme
Britania, mengatakan bahwa pada waktu manusia di lahirkan akalnya
merupakan jenis catatan yang kosong (tabula rasa),dan di dalam buku
catatan itulah dicatat pengalaman-pengalaman inderawi. Menurut Locke,
seluruh sisa pengetahuan kita diperoleh dengan jalan menggunakan
serta memperbandingkan ide-ide yang diperoleh dari penginderaan serta
refleksi yang pertama-pertama dan sederhana tersebut.
Ia memandang akal
sebagai sejenis tempat penampungan,yang secara pasif menerima
hasil-hasil penginderaan tersebut. Ini berarti semua pengetahuan kita
betapapun rumitnya dapat dilacak kembali sampai kepada
pengalaman-pengalaman inderawi yang pertama-tama, yang dapat
diibaratkan sebagai atom-atom yang menyusun objek-objek material. Apa
yang tidak dapat atau tidak perlu di lacak kembali secara demikian
itu bukanlah pengetahuan, atau setidak-tidaknya bukanlah pengetahuan
mengenai hal-hal yang factual.
b.
Rasionalisme
Rasionalisme
berpendirian bahwa sumber pengetahuan terletak pada akal. Bukan
karena rasionalisme mengingkari nilai pengalaman, melainkan
pengalaman paling-paling dipandang sebagai sejenis perangsang bagi
pikiran. Para penganut rasionalisme yakin bahwa kebenaran dan
kesesatan terletak di dalam ide kita, dan bukannya di dalam diri
barang sesuatu. Jika kebenaran mengandung makna mempunyai ide yang
sesuai dengan atau menunjuk kepada kenyataan, maka kebenaran hanya
dapat ada di dalam pikiran kita dan hanya dapat diperoleh dengan akal
budi saja.
c.
Fenomenalisme
Bapak Fenomenalisme
adalah Immanuel Kant. Kant membuat uraian tentang pengalaman. Baran
sesuatu sebagaimana terdapat dalam dirinyan sendiri merangsang alat
inderawi kita dan diterima oleh akal kita dalam bentuk-bentuk
pengalaman dan disusun secara sistematis dengan jalan penalaran.
Karena itu kita tidak pernah mempunyai pengetahuan tentang barang
sesuatu seperti keadaanya sendiri, melainkan hanya tentang sesuatu
seperti yang menampak kepada kita, artinya, pengetahuan tentang
gejala (Phenomenon).
Bagi Kant para
penganut empirisme benar bila berpendapat bahwa semua pengetahuan di
dasarkan pada pengalaman-meskipun benar hanya untuk sebagian. Tetapi
para penganut rasionalisme juga benar, karena akal memaksakan
bentuk-bentuknya sendiri terhadap barang sesuatu serta pengalaman.
d.
Intusionisme
Menurut Bergson,
intuisi adalah suau sarana untuk mengetahui secara langsung dan
seketika. Analisa, atau pengetahuan yang diperoleh dengan jalan
pelukisan, tidak akan dapat menggantikan hasil pengenalan secara
langsung dari pengetahuan intuitif.
Salah satu di antara
unsut-unsur yang berharga dalam intuisionisme Bergson ialah, paham
ini memungkinkan adanya suatu bentuk pengalaman di samping pengalaman
yang dihayati oleh indera. Dengan demikian data yang dihasilkannya
dapat merupakan bahan tambahan bagi pengetahuan di samping
pengetahuan yang dihasilkan oleh penginderaan. Kant masih tetap benar
dengan mengatakan bahwa pengetahuan didasarkan pada pengalaman,
tetapi dengan demikian pengalaman harus meliputi baik pengalaman
inderawi maupun pengalaman intuitif.
Hendaknya diingat,
intusionisme tidak mengingkati nilai pengalaman inderawi yang biasa
dan pengetahuan yang disimpulkan darinya. Intusionisme –
setidak-tidaknya dalam beberapa bentuk-hanya mengatakan bahwa
pengetahuan yang lengkap di peroleh melalui intuisi, sebagai lawan
dari pengetahuan yang nisbi-yang meliputi sebagian saja-yang
diberikan oleh analisa. Ada yang berpendirian bahwa apa yang
diberikan oleh indera hanyalah apa yang menampak belaka, sebagai
lawan dari apa yang diberikan oleh intuisi, yaitu kenyataan. Mereka
mengatakan, barang sesuatu tidak pernah merupakan sesuatu seperti
yang menampak kepada kita, dan hanya intuisilah yang dapat
menyingkapkan kepada kita keadaanya yang senyatanya.
e.
Dan
masih masih banyak lagi yang menjadi bahasan dalam epistemology.
C.
Aksiologi
Dewasa ini ilmu
bahkan sudah berada di ambang kemajuan yang mempengaruhi reproduksi
dan penciptaan manusia itu sendiri. Jadi ilmu bukan saja menimbulkan
gejala dehumanisasi namun bahkan kemungkinan mengubah hakikat
kamanusiaan itu sendiri, atau dengan perkataan lain, ilmu bukan lagi
merupakan sarana yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya,
namun bahkan kemungkinan mengubah hakikat kemanusiaan itu sendiri,
atau dengan perkataan lain, ilmu bukan lagi merupakan sarana yang
membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, namun juga menciptakan
tujuan hidup itu sendiri. “bukan lagi Goethe yang menciptakan
Faust.” Meminjamkan perkataan ahli ilmu jiwa terkenal carl gustav
jung,” melainkan faust yang menciptakan Goethe.”
Menghadapi kenyataan
seperti ini, ilmu yang pada hakikatnya mempelajari alam sebagaimana
adanya mulai mempertanyakan hal-hal yang bersifat seharusnya: untuk
apa sebenarnya ilmu itu harus dipergunakan? Dimana batas wewenang
penjelajahan keilmuan? Ke arah mana perkembangan keilmuan harus
diarahkan? Pertanyaa semacam ini jelas tidak merupakan urgensi bagi
ilmuan seperti Copernicus, Galileo dan ilmuwan seangkatannya; namun
bagi ilmuan yang hidup dalam abad kedua puluh yang telah mengalami
dua kali perang dunia dan hidup dalam bayangan kekhawatiran perang
dunia ketiga, pertanyaan-pertanyaan ini tak dapat di elakkan. Dan
untuk menjawan pertanyaan ini maka ilmuan berpaling kepada hakikat
moral.
Sebenarnya sejak
saat pertumbuhannya ilmu sudah terkait dengan masalah-masalah moral
namun dalam perspektif yang berbeda. Ketika Copernicus (1473-1543)
mengajukan teorinya tentang kesemestaan alam dan menemukan bahwa
“bumi yang berputar mengelilingi matahari” dan bukan sebaliknya
seperti apa yang dinyatakan oleh ajaran agama, maka timbullah
interaksi antara ilmu dan moral (yang bersumber pada ajaran agama)
yang berkonotasi metafisik. Secara metafisik ilmu ingin mempelajari
alam sebagaimana adanya, sedangkan di pihak lain, terdapat keinginan
agar ilmu mendasarkan kepada pernyataan-pernyataan (nilai-nilai) yang
terdapat dalam ajaran-ajaran diluar bidang keilmuan di antaranya
agama. Timbullah konflik yang bersumber pada penafsiran metafisik ini
yang berkulminasi pada pengadilan inkuisisi Galileo pada tahun 1633.
Galileo (1564-1642), oleh pengadilan agama tersebut, dipaksa untuk
mencabut pernyataanya bahwa bumi berputar mengelilingi matahari.
Sejarah kemanusiaan
di hiasi dengan semangat para martir yang rela mengorbankan nyawanya
dalam mempertahankan apa yang mereka anggap benar. Peradaban telah
menyaksikan sokrates di paksa meminum racun dan John Huss dibakar.
Dan sejarah tidak berhenti di sini: kemanusiaan tak pernah urung di
halangi untuk menemukan kebenaran. Tanpa landasan moral maka ilmuwan
mudah sekali tergelincir dapat melakukan prostitusi intelektual.
Penalaran secara rasional yang telah membawa manusia mencapai
harkatnya seperti sekarang ini berganti dengan proses rasionalisasi
yang bersifat mendustakan kebenaran. “segalanya punya moral,”
kata Alice dalam petualangannya di negeri ajaib, “asalkan kau mampu
menemukannya.” (adakah yang lebih kemerlap dalam gelap; keberanian
yang esensial dalam avontur intelektual?).
Jadi pada dasarnya
apa yang menjadi kajian dalam bidang ontologi ini adalah berusaha
menjawab pertanyaan-pertanyaan; untuk apa pengetahuan yang berupa
ilmu itu di pergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan
tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan objek yang
ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara
teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah
dengan norma-norma moral/professional?
PENUTUP
Kesimpulan
Dari pembahasan di
atas dapat di tarik kesimpulan :
1.
Ontologis;
cabang ini menguak tentang objek apa yang di telaah ilmu? Bagaimana
ujud yang hakiki dari objek tersebut ? bagaimana hubungan antara
objek tadi dengan daya tangkap manusia (sepert berpikir, merasa dan
mengindera) yang membuakan pengetahuan?.
2. Epistemologi
berusaha menjawab bagaimna proses yang memungkinkan di timbanya
pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang
harus di perhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan yang benar? Apa
yang disebut kebenaran itu sendiri? Apakah kriterianya?
Cara/tehnik/sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan
pengetahuan yang berupa ilmu?.
3. Aksiologi
menjawab, untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu di pergunakan?
Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah
moral? Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan
pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang
merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral?
DAFTAR PUSTAKA
Jujun S.
Suriasumantri, Filsafat
Ilmu Sebuah Pengantar Populer,
Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1996.
Prof. Dr. H. Noeng
Muhadjir, Filsafat
Ilmu,
Penerbit Rake Sarasin, Yogjakarta, 2001.
Louis O. Kattsouff,
Pengantar
filsafat, Tiara
Wacana, Yogjakarta
Sidi Gazalba,
Sistematika
filsafat II,
Yogjakarta, 1995.
.
[1]
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat
Ilmu Sebuah Pengantar Populer,
Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1996, hal. 34-35.
[4]
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat
Ilmu Sebuah Pengantar Populer,
Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1996, hal. 34-35.
[5]
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat
Ilmu Sebuah Pengantar Populer,
Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1996, hal. 34-35.
www.Google.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar